Sabtu, 03 Agustus 2013

Tak Semuanya bisa dihargai dengan uang



Tahun 1997 lalu adalah tahun saya melepas masa lajang. Seperti keluarga kebanyakan maka orang tua saya tepatnya ibu saya merencanakan untuk mengadakan syukuran sederhana dengan mengundang kerabat, handai taulan. Sesederhana pun perhelatan itu tetap dibutuhkan rencana yang meliputi anggaran maupun panitia. Karena keterbatasan dana, maka diputuskan pernikahan saya dilakukan di rumah dan masakan pun disiapkan sendiri.
Terbayangkan betapa repot dan pusingnya saat itu jika tidak ada bantuan tenaga sama sekali. Untuk menyiapkan hidangan pernikahan itu ibu dibantu oleh banyak saudara yang sengaja didatangkan dari kampung halaman dan tetangga dekat rumah.
Alhamdulillah syukuran pernikahan itu sukses dan berjalan tanpa banyak aral. Beberapa hari selesai acara, saudara – saudara ibu berniat pulang ke kampung halamannya. Maka saya pun tergerak untuk memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih kepada mereka. Karena waktunya sangat mepet akhirnya kami memberi sejumlah uang. Tak dinyana salah seorang kerabat itu mengembalikan amplop berisi sejumlah uang dan dia berujar “ saya bukan pembantu, saya ikhlas membantu ibu kamu supaya acara nikah kamu itu sukses” saya terhenyak. Saya tak menduga bahwa kerabat itu akan mengembalikan uang yang saya pikir pantas sebagai ucapan terima kasih saya. Ternyata dia tak suka segala bantuan yang ikhlas tersebut dihargai dengan uang. Saya terharu sekaligus malu. Namun saya tetap menghibur diri, hal itu terjadi karena ketidaktahuan saya yang masih muda.
16 tahun berlalu. Suatu saat saya mengunjungi kawan saya yang melangsungkan pernikahannya di sebuah desa di Jawa Tengah. Desa itu sama dengan desa mbok penjual pecel yang menjadi langganan saya dan teman-teman kantor. Mendengar bahwa saya akan pergi ke desa itu, dengan semangat mbok pecel menawarkan untuk singgah di rumah yang katanya dekat dengan rumah kawan saya itu. Kebetulan mbok juga pulang kampung. Saking antusiasnya mbok meminta nomor ponsel saya dan berjanji akan menghubungi saya ketika saya sudah sampai di tempat tujuan.
Masih setengah perjalanan dengan niat yang tidak cukup kuat untuk singgah, si mbok sudah telepon mengingatkan saya dan kawan – kawan saya untuk mampir.  Singkat kata kami mampir ke rumah si mbok. Sungguh sambutan yang hangat dan tulus dari kesederhanaan si mbok sekeluarga yang jarang kita dapatkan si kota yang hingar bingar .
Saat kami pamit, tak lupa kami memberikan oleh-oleh dan sejumlah uang yang saya titipkan ke simbok untuk cucunya yang baru lahir. Dan kejadian 16 tahun lalu terulang lagi. Si mbok menampik keras uang itu bahkan terkesan marah dengan apa yang saya lakukan. Dia bilang, bahwa dia sudah sangat senang dikunjungi oleh saya dan teman-teman dan dia tak berharap apa-apa. Bahkan setengah dipaksa pun dia tak mau terima uang itu.
Sungguh saya merasa sangat dungu. Kadang kita selalu berpamrih untuk apa yang kita kerjakan dan langsung menggerutu saat usaha kita tampak tidak dihargai. Ternyata orang – orang yang kita anggap lugu dengan pendidikan yang tidak tinggi lebih bisa menghargai manusia dari pada saya.  tak semuanya bisa dihargai dengan sejumlah uang. Pelajaran mahal yang saya dapatkan dari orang-orang lugu sederhana namun sarat dengan rasa tulus dan kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar