Tahun 1997 lalu adalah tahun saya melepas masa
lajang. Seperti keluarga kebanyakan maka orang tua saya tepatnya ibu saya
merencanakan untuk mengadakan syukuran sederhana dengan mengundang kerabat,
handai taulan. Sesederhana pun perhelatan itu tetap dibutuhkan rencana yang
meliputi anggaran maupun panitia. Karena keterbatasan dana, maka diputuskan
pernikahan saya dilakukan di rumah dan masakan pun disiapkan sendiri.
Terbayangkan betapa repot dan pusingnya saat itu
jika tidak ada bantuan tenaga sama sekali. Untuk menyiapkan hidangan pernikahan
itu ibu dibantu oleh banyak saudara yang sengaja didatangkan dari kampung
halaman dan tetangga dekat rumah.
Alhamdulillah syukuran pernikahan itu sukses dan
berjalan tanpa banyak aral. Beberapa hari selesai acara, saudara – saudara ibu
berniat pulang ke kampung halamannya. Maka saya pun tergerak untuk memberikan
sesuatu sebagai ucapan terima kasih kepada mereka. Karena waktunya sangat mepet
akhirnya kami memberi sejumlah uang. Tak dinyana salah seorang kerabat itu
mengembalikan amplop berisi sejumlah uang dan dia berujar “ saya bukan
pembantu, saya ikhlas membantu ibu kamu supaya acara nikah kamu itu sukses”
saya terhenyak. Saya tak menduga bahwa kerabat itu akan mengembalikan uang yang
saya pikir pantas sebagai ucapan terima kasih saya. Ternyata dia tak suka
segala bantuan yang ikhlas tersebut dihargai dengan uang. Saya terharu
sekaligus malu. Namun saya tetap menghibur diri, hal itu terjadi karena
ketidaktahuan saya yang masih muda.
16 tahun berlalu. Suatu saat saya mengunjungi kawan
saya yang melangsungkan pernikahannya di sebuah desa di Jawa Tengah. Desa itu
sama dengan desa mbok penjual pecel yang menjadi langganan saya dan teman-teman
kantor. Mendengar bahwa saya akan pergi ke desa itu, dengan semangat mbok pecel
menawarkan untuk singgah di rumah yang katanya dekat dengan rumah kawan saya itu.
Kebetulan mbok juga pulang kampung. Saking antusiasnya mbok meminta nomor
ponsel saya dan berjanji akan menghubungi saya ketika saya sudah sampai di
tempat tujuan.
Masih setengah perjalanan dengan niat yang tidak
cukup kuat untuk singgah, si mbok sudah telepon mengingatkan saya dan kawan –
kawan saya untuk mampir. Singkat kata
kami mampir ke rumah si mbok. Sungguh sambutan yang hangat dan tulus dari
kesederhanaan si mbok sekeluarga yang jarang kita dapatkan si kota yang hingar
bingar .
Saat kami pamit, tak lupa kami memberikan oleh-oleh
dan sejumlah uang yang saya titipkan ke simbok untuk cucunya yang baru lahir.
Dan kejadian 16 tahun lalu terulang lagi. Si mbok menampik keras uang itu
bahkan terkesan marah dengan apa yang saya lakukan. Dia bilang, bahwa dia sudah
sangat senang dikunjungi oleh saya dan teman-teman dan dia tak berharap
apa-apa. Bahkan setengah dipaksa pun dia tak mau terima uang itu.
Sungguh saya merasa sangat dungu. Kadang kita
selalu berpamrih untuk apa yang kita kerjakan dan langsung menggerutu saat
usaha kita tampak tidak dihargai. Ternyata orang – orang yang kita anggap lugu
dengan pendidikan yang tidak tinggi lebih bisa menghargai manusia dari pada
saya. tak semuanya bisa dihargai dengan
sejumlah uang. Pelajaran mahal yang saya dapatkan dari orang-orang lugu
sederhana namun sarat dengan rasa tulus dan kasih.